Bulan Ramadhan sudah akan berakhir, nggak terasa sudah memasuki hari terakhir lhoo.. Selama sebulan berpuasa ini, ada sesuatu yang berbeda dengan tahun sebelumnya, yaitu kompetisi saat berbuka puasa semakin ketat. Maksudnya begini, sudah jamak dan umum terjadi saat bulan Ramadhan tiba, akan ada agenda wajib yang bernama buka puasa bersama. Nah, acara buka bersama (bukber) ini baru akan sukses terselenggara jika sudah mendapatkan tempatnya dong. Masalahnya ternyata, mendapatkankan tempat bukber itu sekarang bukan perkara mudah.
Jangan membayangkan bukber untuk 10 orang, bukber dengan jumlah peserta yang lebih sedikit (max 4 orang) saja sekarang sudah susah untuk mendapatkan meja. Apakah karena jumlah meja yang tersedia kurang? Atau karena jumlah peserta bukber meningkat? Atau mungkin tidak adanya restoran baru yang dibuka? Menurut saya tidak. Ini sebetulnya ya masalahnya bukan dari mana-mana, melainkan dari diri sendiri. Kok bisa?
Sebuah tempat makan, tentunya mengandalkan kuantitas tamu yang datang untuk membeli makanan. Pendapatannya akan lebih meningkat jika tamu memutuskan untuk makan ditempat (dine-in), kok bisa? Karena tempat makan akan mendapatkan keuntungan berlipat dari penjualan minuman, coba saja hitung dan bandingkan harga es teh di restoran dengan apabila kita membuat sendiri. Akhirnya tamu akan membayar lebih tinggi dari apabila hanya memesan untuk dibungkus (take-away), apalagi jika makan di mall, harganya masih suka kena pajak 10% dan atau biaya layanan 2,5%.
Selain dari kuantitas tamu yang datang, tempat makan juga sangat terbantu dengan istilah “turning table“, yang artinya berapa kali meja dan kursi yang disediakan bisa melayani tamunya. Semakin lama tamu menggunakan meja itu, maka pendapatan tempat makan akan menurun, soalnya biasanya si tamu sudah nggak akan memesan makanan lagi. Itulah kenapa jika lagi makan di restoran, dan pelayan melihat piring kita sudah kosong biasanya akan bertanya apakah akan memesan lagi, jika kita menjawan “tidak”, maka piring tersebut akan diangkat. Ini merupakan strategi supaya tamu yang sudah selesai makan bisa segera pergi kemudian meja tersebut bisa digunakan oleh tamu yang lain.
Masalahnya apa?
Sesuai dengan judul yang saya tulis, selama sebulan ini saya memperhatikan turning table tempat makan yang saya kunjungi rata-rata rendah. Hal ini karena memang tempatnya sering dijadikan acara bukber, perilaku dari tamu yang datang pun juga rata-rata seragam, yaitu suka sibuk sendiri, heboh sendiri, menunda pesanan, dan menunda bayar.
Rata-rata yang datang secara bergerombol, pas sudah sampat ke mejanya juga tidak langsung memesan apalagi membaca buku menu padahal pelayan sudah memberikannya ketika mereka baru saja sampai. Yang biasa dilakukan adalah ngobrol atau malah foto-foto sambil cekikikan. Butuh waktu beberapa lama untuk mereka memesan, itupun kadang sudah dihampiri lagi sama pelayan untuk memastikan mereka siap memesan, biasanya mereka saat itu baru membaca buku menu, dan rata-rata tidak siap dengan mau makan apa. Waktu memilih cukup lama, itupun juga kadang dengan pesanan yang dimodifikasi (nggak pakai sayur, esnya dikit aja, kuahnya dikit, sayurnya agak dibanyakin, dll).
Ketika pesanan datang, yang dilakukan selanjutnya sudah bisa ditebak. Apa? langsung dimakan? Hahaha.. Difoto dulu doonngg.. Itupun juga diselingi sambil mengobrol, bahkan ada yang masing sibuk dengan smartphone hingga lupa sama makanannya sendiri. Selesai makan, nggak langsung pergi dong.. Foto lagi! Kalo perlu minta tolong difotoin sama pelayannya, tentunya nggak cukup cuma sekali.. tapi bisa 3-4 kali sampai dapat foto yang paling kece. Baru kemudian minta bill ke pelayan dan masih berdiskusi mengenai pembayaran, hingga akhirnya seluruh pesanan dibayar dan baru beberapa lama kemudian rombongan itu meninggalkan mejanya.
Bukber yang menyenangkan bukan?
Trus masalahnya apa? Nah, ya seperti yang saya bilang di awal, kompetisi mendapatkan tempat makan saat berbuka puasa sangat sengit, bagi yang sudah mendapatkan tempat biasanya akan memanfaatkan tempatnya sepuas-puasnya. Bagi yang terlambat, otomatis akan masuk waiting list, menunggu hingga tamu yang sudah mendapatkan tempat selesai melakukan segala rutinitasnya. Tentunya kalo kita menunggu orang makan, harapannya ya kalo sudah makan ya sudah, yuk gantian tempatnya.. Tapi jika menunggu rutinitas yang saya jelaskan di awal, maka hakekat puasa yang sebenarnya akan berlaku hingga saatnya berbuka puasa, yaitu sabar…
Ternyata keluhan ini tidak hanya dari sisi tamu yang masuk waiting list seperti saya, melainkan juga dari pemilik tempat makannya sendiri. Memang benar, jika kita makan disitu maka hak kita untuk duduk disana semau yang kita mau, hak kita untuk memesan dan membayar, hak kita juga untuk meminta pelayanan lebih kepada pelayan, soalnya mbayar.. Tapi ingat, itu khan tempat umum.. Orang lain juga mampu kok bayar sebanyak yang kita keluarkan.
Nah, kembali ke keluhan pemilik tempat makan. Ternyata hal ini tidak saja terjadi di Indonesia, melainkan di semua negara. Bahkan ada restoran yang sampai menyewa pihak ketiga untuk menganalisis mengenai performa restorannya. Si pemilik restoran ini merasa aneh dengan review tamu-tamunya di Internet. Rata-rata pada bilang waiting list terlalu lama, susah mendapatkan tempat, dan pelayanannya lama. Padahal si pemilik sudah melakukan yang maksimal seperti menambah jumlah staff dan menghilangkan menu yang susah, tapi kok keluhan dari tamu masih muncul juga.
Hasilnya diluar dugaan, dan itu sangat memprihatinkan…