Kebijakan UN VS Kelulusan

Melanjutkan postingan sebelumnya tentang tragedi UN. Sampai sekarang ternyata perkembangannya makin memprihatinkan. Tadinya aku kira yang gagal menempuh UN cuma dikit dan anak itu benar-benar layak untuk tidak lulus. Ternyata tidak! Ternyata masih banyak lagi anak yang nggak lulus UN, dan lebih menyakitkan lagi, mereka itu orang pintar!Pintar dalam arti yang sesungguhnya. Seperti Siti Hapsa yang gagal masuk IPB gara-gara nilai Matematikanya tidak bisa memenuhi target. Lalu ada Bayu yang sudah ketrima di Universitas Brawijaya melalui jalur PMDK, tapi pupus gara-gara nilai matematika juga tidak bisa melampaui target negara. Lalu ada juga yang merupakan juara Olimpiade Fisika di Unnes dan sudah pasti mendapatkan kursi di  Fakutas MIPA Unnes Semarang tapi batal gara-gara nilai Matematika tidak bisa mencapai batas nilai Negara.

Nilai Negara? iya, aku nggak salah tulis. Aku bilang gitu karena patokan itu yang bikin adalah negara yang diwakili oleh Diknas. Nah, khan aneh, secara yang mengajar siswa adalah sekolah yang diwakili oleh guru, tapi kenapa batas kelulusan yang menentukan adalah negara? Dimana dalam penentuan itu tidak mewakili suara guru. Dan pemerintah memukul rata batas kelulusan untuk semua sekolah, baik sekaolah swasta dan negeri, dan sekolah di kota dan di pelosok pedalaman hutan. Semua sama.

Lalu bagaimana dengan siswa yang tidak lolos UN? Pemerintah menawarkan 2 opsi. Yaitu siswa diharuskan mengulang pelajaran selama setahun atau ikut Kejar Paket C. Wah kasian banget. Dimana para siswa diujikan hanya dengan 3 mata pelajaran, tetapi mereka juga harus mengulang semua mata pelajaran SMU/SMK/MA kelas 3. Dan kenapa yang diajarkan tu banyak banget? kenapa nggak hanya 3 mata pelajaran itu aja? Apa mau mencetak siswa yang pandai menghapal, tapi tidak menguasai pelajaran? Apa pintar itu dinilai dari mampu atau tidaknya siswa menjawab soal? bukan dari implementasi ilmunya ke kehidupan sehari-hari? Generasi muda kita dalam masalah besar, karena sampai kapanpun generasi kita hanya akan dapat memakai, meniru, dan menurut orang, tutorial, contoh, buku. Tanpa pernah bisa untuk mengembangkan dan mengimplementasikan “ilmu” yang mereka dapat di sekolah. Kalo sudah gitu buat apa sekolah?

Bahkan ada yang saking sebelnya hingga bilang bahwa Depdiknas adalah Pembunuh. Trus di Semarang juga ada rumor konversi nilai. Wah, kalo sudah gini apakah pendidikan di Indonesia bisa maju? tanyakan kepada diri sendiri. jangan ikut-ikutan menyalahkan orang lain. Salahkan diri sendiri karena hidup pada waktu yang tidak tepat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *